Otsus Menyimpan Persoalan, Pelaksanaan Otsus Papua Perlu Perbaikan
JAKARTA [PAPOS]- Ketua Pansus Otonomi Khusus Papua di Dewan Perwakilan Daerah [DPD] Paulus Suminto, MM mengatakan, pelaksanaan otonomi Papua perlu diperbaiki agar peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah timur Indonesia tersebut semakin signifikan. Bahkan Otsus dinilai masih menyimpan persoalan yang harus segera diselesaikan. Paulus Sumino dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin, mengatakan, sejak otonomi khusus diberlakukan di Papua sepuluh tahun lalu, telah banyak perkembangan pembangunan, termasuk tingkat kesejahteraan dan juga tingkat pendidikan meski belum siginifikan. Hal ini karena ada sejumlah kendala.
“Sepuluh tahun Otsus Papua ternyata masih menyimpan persoalan baik ideologi, kultural, maupun hukum. Karena itu semua masalah harus diselesaikan demi keberlangsungan Otsus Papua,” katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menyelamatkan Keberlangsungan Otsus di Papua” yang digagas Pansus Otsus Papua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Gedung DPD, Senin (28/2).
Untuk itu, menurut dia, pihaknya menggelar FGD agar dapat merumuskan solusi yang tepat bagi perkembangan Papua. “Hasil FGD ini sangat penting sebagai bahan untuk merumuskan solusi apa yang mesti segera dilakukan agar Otsus Papua benar-benar sesuai dengan jiwa dan tujuan awal yakni menyejahterakan dan memajukan rakyat di Papua-Papua Barat,” katanya.
Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, tujuan FGD adalah mencari akar persoalan pelaksanaan otsus Papua. Sebab masalah Otsus Papua ini bagi DPD sangat strategis mengingat kelahiran UU Otsus Papua 2001 yang menjadi dasar pelaksanaan Otsus Papua. ‘’Hasil pembahasan dari DPD ini akan kami sampaikan kepada Pemerintah dan DPR,’’katanya.
Diakui Irman, selama pelaksanaan Otsus Papua yang sudah 10 tahun, ada dua hal isu pokok. Pertama soal pendistribusian hasil kekayaan yang belum seimbang antara pusat dan Papua-Papua Barat. Kedua, inkonsistensi pemerintah dalam mengatur pelaksanaannya.
Sementara itu, Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai melalui telepon selularnya, kepada Papua Pos semalam mengatakan pada saat pertemuan dengan DPD-RI ada sejumlah poin yang direkomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh DPD-RI ke pemerintah pusat. ‘’Kita berharap sejumlah poin tersebut didorong oleh ke DPD-RI disikapi dan ditindaklnjuti ke pemerintah pusat. Bagaiaman persoaan Papua diselesaikan melalui dialog.
Pada saat pertemuan tersebut menurut politisi Partai Demokrat ini, pihaknya tidak berbicara soal Papua Merdeka, tetapi yang dibicarakan pada saat itu adalah masalah kemanusian di Papua, bagaiaman agar kesejahteraan masyarakat Papua bisa lebih baik, serta masalah kemanusian bisa ditangani lebih bagus dari yang sekarang. Jadi pada saat pertemuan dengan DPD-RI di Jakarta, kemarin, kita tidak bicara Papua Merdek, juga kita bukan bicara NKRI, tetapi kita bicarakan masalah kemanusian dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua,’’ tandasnya. [bela/ant]
“Sepuluh tahun Otsus Papua ternyata masih menyimpan persoalan baik ideologi, kultural, maupun hukum. Karena itu semua masalah harus diselesaikan demi keberlangsungan Otsus Papua,” katanya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menyelamatkan Keberlangsungan Otsus di Papua” yang digagas Pansus Otsus Papua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di Gedung DPD, Senin (28/2).
Untuk itu, menurut dia, pihaknya menggelar FGD agar dapat merumuskan solusi yang tepat bagi perkembangan Papua. “Hasil FGD ini sangat penting sebagai bahan untuk merumuskan solusi apa yang mesti segera dilakukan agar Otsus Papua benar-benar sesuai dengan jiwa dan tujuan awal yakni menyejahterakan dan memajukan rakyat di Papua-Papua Barat,” katanya.
Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, tujuan FGD adalah mencari akar persoalan pelaksanaan otsus Papua. Sebab masalah Otsus Papua ini bagi DPD sangat strategis mengingat kelahiran UU Otsus Papua 2001 yang menjadi dasar pelaksanaan Otsus Papua. ‘’Hasil pembahasan dari DPD ini akan kami sampaikan kepada Pemerintah dan DPR,’’katanya.
Diakui Irman, selama pelaksanaan Otsus Papua yang sudah 10 tahun, ada dua hal isu pokok. Pertama soal pendistribusian hasil kekayaan yang belum seimbang antara pusat dan Papua-Papua Barat. Kedua, inkonsistensi pemerintah dalam mengatur pelaksanaannya.
Sementara itu, Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai melalui telepon selularnya, kepada Papua Pos semalam mengatakan pada saat pertemuan dengan DPD-RI ada sejumlah poin yang direkomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh DPD-RI ke pemerintah pusat. ‘’Kita berharap sejumlah poin tersebut didorong oleh ke DPD-RI disikapi dan ditindaklnjuti ke pemerintah pusat. Bagaiaman persoaan Papua diselesaikan melalui dialog.
Pada saat pertemuan tersebut menurut politisi Partai Demokrat ini, pihaknya tidak berbicara soal Papua Merdeka, tetapi yang dibicarakan pada saat itu adalah masalah kemanusian di Papua, bagaiaman agar kesejahteraan masyarakat Papua bisa lebih baik, serta masalah kemanusian bisa ditangani lebih bagus dari yang sekarang. Jadi pada saat pertemuan dengan DPD-RI di Jakarta, kemarin, kita tidak bicara Papua Merdek, juga kita bukan bicara NKRI, tetapi kita bicarakan masalah kemanusian dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua,’’ tandasnya. [bela/ant]
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
No comments
– March 4, 2011
Nasson Utti: Lembaga Keagamaan di Luar Tanah Papua tak Berhak Dapat Kursi MRP
Kuota Pemilihan MRP Tak Sesuai Amanat UU Otsus JAYAPURA—Kuota atau pembagian pemilihan anggota MRP tak sesuai Amanat UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus. Untuk itu, Panitia Pemilihan MRP maupun Kesbang Provinsi Papua mesti tegask dan konsisten melaksanakan UU Otsus, bahwa lembaga keagamaan yang berpusat di Tanah Papua berhak memperoleh kursi.
Sebaliknya, lembaga keagamaan yang tak berpusat di Papua tak perlu mendapat kursi MRP.
Demikian dijelaskan Anggota Tim Pansus Pemilihan MRP di DPRP Nasson Utti SE kepada wartawan di Pressroom DPRP, Senin (21/2) kemarin. Menurut Angota Komisi D DPRP ini, Kesbang Provinsi Papua mesti menyampaikan kepada lembaga keagamaan yang bersangkutan bahwa anggota MRP mesti diisi lembaga keagamaan yang berpusat di Tanah Papua. “Jadi sepanjang lembaga keagamaan yang bersangkutan belum mempunyai managemen secara lengkap di Tahan Papua tak berhak mendapatkan fasilitas Otsus,” tegasnya.
Selanjutnya, tambahnya, menyangkut pembagian dana bantuan keagamaan sesuai kebijakan Gubernur Provinsi Papua bahwa hanya diperuntukan bagi agama agama besar dan diakui di Tanah Papua masing masing GKI, KINGMI, GIDI, Pantekosta, Advent, Katolik serta Islam. Kedelapan lembaga keagamaan ini berhak mendapatkan kuota 14 kursi.
Dia mengatakan, pihaknya menyarankan kepada pimpinan lembaga keagamaan di Tanah Papua, tapi berpusat di Jakarta atau di luar Papua tak berhak memperoleh kursi seperti kehadiran Gereja Pantekosta di Tanah Papua, yang masih kepanjangan dari pusat. Padahal, anggota yang duduk di MRP adalah representatif dari lembaga keagamaan di Papua serta mempunyai pelayanan di Tanah Papua.
Ditanya solusi DPRP mengatasi kebuntuan ini, menurut dia, lembaga keagamaan yang berhak mendapatkan kursi adalah Gereja yang Sinodenya di Tanah Papua. Hal ini diperkirakan menuai masalah antara lain menyangkut managemen Gereja, pelayanan dan lain lain. Sedang yang jumlah umatnya besar, tapi organisasinya ada di luar Papua secara hirarki organisasi managemen diatur pimpinan Gereja di luar Papua.
“Kalau dia berbicara soal pelayanan apabila timbul masalah dia dapat tekanan dari pimpinan organisasi diluar Papua. Hal ini tak sinkron dengan tanggungjawab dia dengan organisasi yang dia jalankan,” tandasnya. (mdc/don)
Senin, 21 Februari 2011 22:29
Sebaliknya, lembaga keagamaan yang tak berpusat di Papua tak perlu mendapat kursi MRP.
Demikian dijelaskan Anggota Tim Pansus Pemilihan MRP di DPRP Nasson Utti SE kepada wartawan di Pressroom DPRP, Senin (21/2) kemarin. Menurut Angota Komisi D DPRP ini, Kesbang Provinsi Papua mesti menyampaikan kepada lembaga keagamaan yang bersangkutan bahwa anggota MRP mesti diisi lembaga keagamaan yang berpusat di Tanah Papua. “Jadi sepanjang lembaga keagamaan yang bersangkutan belum mempunyai managemen secara lengkap di Tahan Papua tak berhak mendapatkan fasilitas Otsus,” tegasnya.
Selanjutnya, tambahnya, menyangkut pembagian dana bantuan keagamaan sesuai kebijakan Gubernur Provinsi Papua bahwa hanya diperuntukan bagi agama agama besar dan diakui di Tanah Papua masing masing GKI, KINGMI, GIDI, Pantekosta, Advent, Katolik serta Islam. Kedelapan lembaga keagamaan ini berhak mendapatkan kuota 14 kursi.
Dia mengatakan, pihaknya menyarankan kepada pimpinan lembaga keagamaan di Tanah Papua, tapi berpusat di Jakarta atau di luar Papua tak berhak memperoleh kursi seperti kehadiran Gereja Pantekosta di Tanah Papua, yang masih kepanjangan dari pusat. Padahal, anggota yang duduk di MRP adalah representatif dari lembaga keagamaan di Papua serta mempunyai pelayanan di Tanah Papua.
Ditanya solusi DPRP mengatasi kebuntuan ini, menurut dia, lembaga keagamaan yang berhak mendapatkan kursi adalah Gereja yang Sinodenya di Tanah Papua. Hal ini diperkirakan menuai masalah antara lain menyangkut managemen Gereja, pelayanan dan lain lain. Sedang yang jumlah umatnya besar, tapi organisasinya ada di luar Papua secara hirarki organisasi managemen diatur pimpinan Gereja di luar Papua.
“Kalau dia berbicara soal pelayanan apabila timbul masalah dia dapat tekanan dari pimpinan organisasi diluar Papua. Hal ini tak sinkron dengan tanggungjawab dia dengan organisasi yang dia jalankan,” tandasnya. (mdc/don)
Senin, 21 Februari 2011 22:29
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– February 22, 2011
Kasus HAM Dilaporkan ke Utusan Kedubes AS
BIAK- Masyarakat Adat Papua di Biak, telah menyampaikan sejumah implikasi dari seluruh persoalan sosial politik yang terjadi di Papua. Baik itu pelanggaran HAM, pelanggaran kesejahteraan, terutama pelanggaran yang terjadi di era Otonomi Khusus (Otsus) yang berimplikasi kepada kegagalan Otsus. Semua persoalan tersebut disampaikan kepada sekretaris I bidang politik Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS), Melanie Higgins saat berkunjung ke kantor Dewan Adat Papua, khususnya di Biak. Persoalan yang merujuk pada satu hal atau solusi bagi masyarakat Papua yaitu merdeka. “ Itu yang murni keluar dari masyarakat Papua, khusus masyarakat adat di Biak, bahwa merdeka adalah satu jalan untuk penyelesaian semua akumulasi persoalan di Papua ,” kata ketua dewan adat Papua di wilayah Biak-Supiori, Yan Pieter Yarangga kepada Bintang Papua setelah pertemuan dengan utusan kedubes AS di kantor dewan adat setempat, Rabu (16/2). Menurutnya, kunjungan Melanie Higgins ke Papua, adalah salah satu keputusan konsistensi AS untuk mengawasi penyelenggaraan Otsus di Papua. Sehingga secara langsung ia harus mau mendengar dari masyarakat adat Papua tentang perkembangan Otsus yang sudah berjalan sekitar 10 tahun ini. Sejumlah masalah yang disampaikan masyarakat adat, kata Yan Pieter Yarangga, cukup signifikan, seperti kegagalan Otsus yang langsung dipresentasikan, serta beberapa kasus ril tentang insiden pemukulan TNI terhadap warga sipil yang berkaitan dengan polemik tanah, yang terkait status tanah TNI AU. Begitu juga sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan sejarah, proses pembangunan, angka kemiskinan di Papua yang semakin tinggi. Bahkan dari perempuan Papua menyampaikan korban HIV AIDS serta melonjaknya pengidap penyakit tersebut di Biak dan seluruh Papua. “ Yang disampaikan itu adalah semua masalah serius dan merupakan indikator dari apa yang disebut dengan genosida, namun kami menyesal dan sungguh sangat naïf sekali kalau AS mengatakan bahwa tidak ada genosida di Papua ,” kata ketua dewan adat yang biasa disebut mananwir beba ini. Dan kata dia, masyarakat adat Papua tetap pada posisi sangat menghargai kunjungan Melanie Higgins dan posisi AS saat ini. “ Dan pada akhirnya kami berkesimpulan dan kami sangat mengerti bahwa AS tetap mendukung kebijakan NKRI di tanah Papua. Tetapi perlu diketahui bahwa kami juga tidak akan mundur, kami akan berjuang terus sampai ada penyelesaian status politik bangsa Papua. Dan itu sudah menjadi komitmen ,” ujarnya. Namun sebagai masyarakat adat Papua yang menghendaki adanya penyelesaian status politik Papua, berharap Melanie Higgins dapat melanjutkan persoalan yang disampaikan masyarakat adat Papua kepada pemerintah AS agar diteruskan kepada pemerintah pusat di Jakarta, untuk segera mengambil langkah-langkah penyelesaian Papua secara komprehensif. “ Sebenarnya ada banyak soal yang akan disampaikan, tapi waktunya sangat singkat. Hanya kami berkesimpulan pada beberapa indikator persoalan yang sangat substansial ,” kata mananwir beba.(pin/aj/03)
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– February 17, 2011
Kasus HAM Dilaporkan ke Utusan Kedubes AS
BIAK- Masyarakat Adat Papua di Biak, telah menyampaikan sejumah implikasi dari seluruh persoalan sosial politik yang terjadi di Papua. Baik itu pelanggaran HAM, pelanggaran kesejahteraan, terutama pelanggaran yang terjadi di era Otonomi Khusus (Otsus) yang berimplikasi kepada kegagalan Otsus. Semua persoalan tersebut disampaikan kepada sekretaris I bidang politik Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS), Melanie Higgins saat berkunjung ke kantor Dewan Adat Papua, khususnya di Biak. Persoalan yang merujuk pada satu hal atau solusi bagi masyarakat Papua yaitu merdeka. “ Itu yang murni keluar dari masyarakat Papua, khusus masyarakat adat di Biak, bahwa merdeka adalah satu jalan untuk penyelesaian semua akumulasi persoalan di Papua ,” kata ketua dewan adat Papua di wilayah Biak-Supiori, Yan Pieter Yarangga kepada Bintang Papua setelah pertemuan dengan utusan kedubes AS di kantor dewan adat setempat, Rabu (16/2). Menurutnya, kunjungan Melanie Higgins ke Papua, adalah salah satu keputusan konsistensi AS untuk mengawasi penyelenggaraan Otsus di Papua. Sehingga secara langsung ia harus mau mendengar dari masyarakat adat Papua tentang perkembangan Otsus yang sudah berjalan sekitar 10 tahun ini. Sejumlah masalah yang disampaikan masyarakat adat, kata Yan Pieter Yarangga, cukup signifikan, seperti kegagalan Otsus yang langsung dipresentasikan, serta beberapa kasus ril tentang insiden pemukulan TNI terhadap warga sipil yang berkaitan dengan polemik tanah, yang terkait status tanah TNI AU. Begitu juga sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan sejarah, proses pembangunan, angka kemiskinan di Papua yang semakin tinggi. Bahkan dari perempuan Papua menyampaikan korban HIV AIDS serta melonjaknya pengidap penyakit tersebut di Biak dan seluruh Papua. “ Yang disampaikan itu adalah semua masalah serius dan merupakan indikator dari apa yang disebut dengan genosida, namun kami menyesal dan sungguh sangat naïf sekali kalau AS mengatakan bahwa tidak ada genosida di Papua ,” kata ketua dewan adat yang biasa disebut mananwir beba ini. Dan kata dia, masyarakat adat Papua tetap pada posisi sangat menghargai kunjungan Melanie Higgins dan posisi AS saat ini. “ Dan pada akhirnya kami berkesimpulan dan kami sangat mengerti bahwa AS tetap mendukung kebijakan NKRI di tanah Papua. Tetapi perlu diketahui bahwa kami juga tidak akan mundur, kami akan berjuang terus sampai ada penyelesaian status politik bangsa Papua. Dan itu sudah menjadi komitmen ,” ujarnya. Namun sebagai masyarakat adat Papua yang menghendaki adanya penyelesaian status politik Papua, berharap Melanie Higgins dapat melanjutkan persoalan yang disampaikan masyarakat adat Papua kepada pemerintah AS agar diteruskan kepada pemerintah pusat di Jakarta, untuk segera mengambil langkah-langkah penyelesaian Papua secara komprehensif. “ Sebenarnya ada banyak soal yang akan disampaikan, tapi waktunya sangat singkat. Hanya kami berkesimpulan pada beberapa indikator persoalan yang sangat substansial ,” kata mananwir beba.(pin/aj/03)
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– February 17, 2011
KDRT Jadi Kepedulian Tim Penggerak PKK
Merauke- Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Merauke, Ny. Yohana M.Mabaraka menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Sebab itu, ia mengatakan bahwa KDRT harus mendapat perhatian dan kepedulian besar dari semua pihak, tak terkecuali dari PKK Kabupaten Merauke sendiri. “Jadi kami sangat empati sekali dengan KDRT yang kerap menimpa para istri, khususnya mereka yang tinggal di kampong-kampung. Karena itu, kami berencana merancang program untuk memerangi tindakan KDRT ini,” ujar Ny. Yohanan, belum lama ini. Ditegaskan kembali Ibu Kabupaten Merauke itu, KDRT notabene sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sekaligus kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk dsikriminasi terhadap korban, yakni kaum istri. Karena itu, lanjut dia, korban KDRT harus mendapat perlindungan dari Negara dan atau masyarakat. Perlindungan tersebut menurutnya penting agar korban terhindar dan terbebas dari kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan serta perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. “Kekerasan terhadap perempuan dan anak acap kali kurang memperoleh perhatian public, apalagi kalau itu terjadi pada mereka yang ada perkampungan. “Oleh sebab itu kami akan membuat program yang bisa dalam bentuk adovokasi atau sosialisasi untuk membuka cakrawala kaum perempuan“ pungkasnya. (lea/don/erick) Ditulis oleh redaksi binpa Rabu, 16 Februari 2011 14:57
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– February 17, 2011
AS Diminta Tak Tutupi Masalah Papua
BIAK-Kunjungan Sekretaris I Bidang Politik Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat, Melanie Higgins ke Papua, merupakan salah satu wujud komitmen Amerika terhadap penyelesaian masalah-masalah yang terjadi di Papua. Sehingga kehadiran utusan kedubes itu, diharapkan harus terbuka kepada masyarakat Papua dan jujur membawa masalah Papua untuk mendapatkan solusi internasional yang jelas. “ Mereka yang datang ini harus jujur, sehingga masalah Papua tidak ditutupi di forum internasional, sebab masalah Papua pernah dibicarakan di sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beberapa waktu lalu ,” jelas Ketua Dewan Adat Papua di wilayah Biak Numfor dan Supiori, Yan Pieter Yarangga kepada Bintang Papua, Minggu (13/2).Hal ini menanggapi kunjungan Utusan Kedubes Amerika Serikta selama beberapa hari di Biak. Menurutnya, komitmen Amerika itu telah diwujudkan lewat kunjungan staf Kedubes Amerika ke Papua dalam rangka pengawasan dan pemantauan terhadap pembangunan di Papua. Dan dari kunjungan itu yang perlu diketahui secara langsung oleh utusan tersebut, yakni adanya kegagalan pelaksanaan UU nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua terhadap pembangunan dan kesejahteraan orang asli Papua. Dan terkait masalah hukum dan HAM terhadap orang Papua yang tidak pernah selesai, serta hak-hak dasar orang Papua yang selama ini telah dikebiri. “ Tiga hal itu pernah disampaikan pada sidang umum PPB tahun lalu, sehingga kunjungan ini harus sejujurnya mambawa aspirasi orang asli Papua dan masalah-masalah Papua yang belum terselesaikan ini ,” ujarnya. Kedatangan dan kunjungan kerja staf kedubes Amerika Serikat ke Biak dimulai 12-17 Februari 2011. Selain juga akan melakukan petemuan dengan pemerintah daerah setempat, serta dewan adat, staf kedubes Amerika itu akan mengunjungi beberapa lokasi didaerah ini, antara lain Pantai Wari Distrik Biak Utara, Biak Timur dan pulau Owi.
Lebih lanjut hal lain, sejak kedatangan staf kedubes Amerika itu di Bandara Frans Kaisiepo Biak, Sabtu (12/2), sempat sejumlah kalangan wartawan merasa kecewa karena dilarang meliput serta mengambil gambar staf Kedubes Amerika Serikat Melanie Higgins. “Pelarangan wartawan untuk meliput kegiatan adalah bentuk pelanggaran Undang-Undang Pokok Pers tahun 1999 karena telah menghalangi dan menghambat profesi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik ,” ujar ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Papua, Viktor Mambor.
Namun menurut dia, jika nara sumber yang menolak untuk diwawancarai, hal itu harus bisa dihargai oleh wartawan. Sehingga kebenaran hal itu akan ditelusuri oleh anggota AJI yang berada di daerah ini, jika ditemukan bukti adanya pelarangan, maka AJI segera akan menindaklanjuti masalah itu sesuai aturan yang berlaku.
Popy, salah seorang reporter radio, mengakui, dirinya sangat kecewa dengan adanya pembatasan larangan meliput kegiatan kunjungan staf Kedubes Amerika Serikat saat tiba di Bandara Frans Kaisiepo. “Wartawan sudah diberitahu pejabat setempat tidak usah mengambil gambar,”ungkap Popiy dalam pesan singkat seperti dilansir Antara.
Sementara itu, wartawan Senior Biak Radot Gurning mengakui, adanya larangan wartawan meliput kegiatan merupakan bentuk pelanggaran Undang-Undang Pokok Pers tahun 1999 karena menghalangi dan menghambat profesi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. “Pelarangan liputan wartawan tidak semestinya dilakukan pihak manapun, justru masyarakat harus memberi akses kelancaran pers menjalankan profesinya,” kata sejumlah wartawan di Biak.
Secara terpisah Kepala Bagian Humas/Protokoler Pemkab Biak Harun Rumkabas ketika dikonfirmasi, Sabtu malam membenarkan adanya permintaan larangan liputan dari staf kedubes Amerika saat mendarat di Bandara Frans Kaisiepo. “Permintaan larangan liputan bagi wartawan atas keinginan pihak staf kedubes, ya teman-teman wartawan harus menghormati permintaan ini,”ujarnya. (pin/binpa/don/03)
Minggu, 13 Februari 2011 14:37 di Bintang Papua
Lebih lanjut hal lain, sejak kedatangan staf kedubes Amerika itu di Bandara Frans Kaisiepo Biak, Sabtu (12/2), sempat sejumlah kalangan wartawan merasa kecewa karena dilarang meliput serta mengambil gambar staf Kedubes Amerika Serikat Melanie Higgins. “Pelarangan wartawan untuk meliput kegiatan adalah bentuk pelanggaran Undang-Undang Pokok Pers tahun 1999 karena telah menghalangi dan menghambat profesi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik ,” ujar ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Papua, Viktor Mambor.
Namun menurut dia, jika nara sumber yang menolak untuk diwawancarai, hal itu harus bisa dihargai oleh wartawan. Sehingga kebenaran hal itu akan ditelusuri oleh anggota AJI yang berada di daerah ini, jika ditemukan bukti adanya pelarangan, maka AJI segera akan menindaklanjuti masalah itu sesuai aturan yang berlaku.
Popy, salah seorang reporter radio, mengakui, dirinya sangat kecewa dengan adanya pembatasan larangan meliput kegiatan kunjungan staf Kedubes Amerika Serikat saat tiba di Bandara Frans Kaisiepo. “Wartawan sudah diberitahu pejabat setempat tidak usah mengambil gambar,”ungkap Popiy dalam pesan singkat seperti dilansir Antara.
Sementara itu, wartawan Senior Biak Radot Gurning mengakui, adanya larangan wartawan meliput kegiatan merupakan bentuk pelanggaran Undang-Undang Pokok Pers tahun 1999 karena menghalangi dan menghambat profesi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. “Pelarangan liputan wartawan tidak semestinya dilakukan pihak manapun, justru masyarakat harus memberi akses kelancaran pers menjalankan profesinya,” kata sejumlah wartawan di Biak.
Secara terpisah Kepala Bagian Humas/Protokoler Pemkab Biak Harun Rumkabas ketika dikonfirmasi, Sabtu malam membenarkan adanya permintaan larangan liputan dari staf kedubes Amerika saat mendarat di Bandara Frans Kaisiepo. “Permintaan larangan liputan bagi wartawan atas keinginan pihak staf kedubes, ya teman-teman wartawan harus menghormati permintaan ini,”ujarnya. (pin/binpa/don/03)
Minggu, 13 Februari 2011 14:37 di Bintang Papua
Posted in Uncategorized.
– February 13, 2011
Bahasa Dusner : Bahasa Diambang Kematian
Oleh Andreas Deda, MA (*) Ketika Spanyol menguasai Amerika latin. Bahasa asli suku pribumi yang disebut Quechea hidup diambang kepunahan. Demikian halnya ketika Amerika menguasai Hawaii. Bahasa Hawaii pun sempat mengalami detak – detak nadi terakhir di ambang kematian. Semua ini terjadi akibat kekeliruan manusia menterjemahkan konsep modernisme dan peradaban adalah absolut dibangun diatas bahasa Inggris atau Indo – European languages seperti Jerman, Italy, Perancis dan Belanda sebagai salah satu bahasa dari manusia yang disebut moderen. Misleading concept of modernism and civilization is the reason why local and regional languages are dying. (Salah penfasiran tentang konsep modernisme dan peradaban merupakan alasan mengapa bahasa daerah bisa mati). Sejarah yang terjadi didataran Eropa menjelaskan; ketika Inggris menguasai Irlandia bahasa Irish hampir mati ditelan tanah. Dibenua Afrika lebih mengenaskan lagi; bahasa Belanda dan Prancis berhasil mematikan sekitar 450 bahasa pribumi dan menjadikan dua bahasa besar ini sebagai bahasa utama atau ’the main languages of the Afrikaans’. Sehingga orang Afrika untuk beberapa dekade pernah mengalami kehidupan yang jika diumpamakan mereka adalah suatu pribadi yang berbadan, badan Afrika tetapi suara, suara Eropa, hingga akhirnya bangkit pemberontakan seperti Bob Marley dan kawan – kawan yang berusaha mengembalikan jati diri Afrika. Bahasa – bahasa Indian Amerika pernah dibawah kekuasaan Eropa mengalami hal yang sama hingga akhir abad sembilan belas. Mengutip (Deda. 2008.21 Juli) dalam media Papua tentang keberadaan bahasa; ”bahasa datang tak diundang dan pergipun tak diantar. Apabila pasang surut gelombang kekuatan dan kekuasaan menerpa maka diatas bahu para penguasa ia akan selamat, tetapi diatas pundak para penguasa ini iapun bisa berbaring pulas dalam keheningannya hingga tewas tertelan bumi”. Dan akhirnya kita mengenal istilah bahasa punah, bahasa mati, bahasa hilang, bahasa kuno dan macam – macam frase untuk menjelaskan ketidak hadiran suatu bahasa dimuka bumi. Dalam cerita Hindu dan Budha mereka mengenal bahwa ketika Brahmana menciptakan seisi bumi, maka Saraswati memberikan bahasa kepada manusia untuk mengusahakan bumi. Para penganut agama Islam dan Kristen pasti mengenal yang namanya Adam. Setelah seisi alam telah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa kemudian semua itu dibawahkan kepada Adam dan Adam pun menamai semua makhluk yang ada sesuai nama dan identitasnya. Dan sejak saat itulah bahasapun hadir tanpa disadari oleh siapapun. Bahasa daerah merupakan identitas asali dari keberadaan seseorang. Manusia dikenal kebangsaannya dari bahasa yang dituturkan. Bahasa dan daerah erat berkait dan tak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan yang menghidupkan. Artinya setiap orang hidup didaerah menggunakan bahasa daerahnya untuk menamai setiap sumber daya alam yang ada dilingkungannya sesuai dengan nama dan karateristik yang dimiliki, dan dari interaksi antara dirinya dengan alam dimana dia ada, terciptalah kehidupan. Dan kehidupan itu dibangun diatas bahasa dan proses membahasakan alam sekitar. Pada bulan November 2010 lalu ketika mengikuti simposium internasional di Bangkok tentang Millenium Development Goals (MDGs) and Multilingual Education (Tujuan Pembangunan Millenium dan Pendidikan Multi-Bahasa) seorang professor dari Inggris, Sussane Moraine, mengatakan bahwa tujuan pembangunan millenium akan bisa tercapai apabila konsep tersebut telah dipahami dalam bahasa manusia sehari –hari dan pendidikan dengan pendekatan multilingual berbasis bahasa daerah adalah cara terbaik untuk mewujudkan MDGs. Sebab dapat dikatakan sebagai contoh bahwa pembangunan manusia Papua misalnya, bukan orang Papua dibangun menjadi seperti Inggris atau Belanda dan hidup dialam Jawa atau Makasar. Tetapi orang Papua menjadi Papua dan hidup dari sumber daya alamnya dan menjaga dan melestarikan sumber – sumber kehidupannya sendiri demi keberlangsungan anak cucu. Dan hal itu dilakukan dengan mempelajari kesamaan universal ditempat lain sebagai pendekatan pembangunan. Dan hal pembangunanan yang hakiki bisa dilakukan dengan bahasa daerahnya masing – masing karena alam dimana dia hidup pertama kali dinamai dalam bahasa daerahnya. Meminjam kata – kata dari Profesor Oktaviana, seorang professor Ilmu Sosial Budaya dari Northern Univeristy of Arizona (NUA); when you can talk and work in your language you are child of the land. (Ketika anda bisa berbicara dan bekerja dalam bahasa anda maka anda adalah anak negri). Hal ini mengandung kearifan bahwa bumi tempat kita hidup akan menghidupkan kita apabila kita mampu menjaga dan mengenal alam kita dari cara kita bekerja dan berbahasa. Karena didalam bahasalah terdapat konsep tentang dunia dan dunia itu dibahasakan dalam komunikasi setiap hari. Konsep yang kita miliki tentang alam sekitar kalau tidak bersahabat dengannya maka hancurlah alam. Inilah yang dinamakan bahwa dalam kearifan lokal terdapat hikmat dan pengetahuan pertama sebagai pemberian murni dari Tuhan untuk kelestarian alam. Khusus tentang Papua, sebelum segala pengaruh asing datang, manusia penghuni tanah New Guinea telah berada disana beratus – ratus bahkan berjuta tahun dari generasi ganti generasi, dan mereka mengenal alam mereka lebih detail sebelum orang lain mengenalnya. Dengan kata lain, sebelum ahli taksonomi datang dan mengamati alam kemudian menamai setiap spesies yang ditemui dari lingkungan dimana makhluk hidup itu berada, para pemilik negri yang hidup disana generasi ganti generasi telah menamainya lebih dulu. Dan hikmat dan marifat itu terdapat dalam bahasa daerah. Bahasa daerah itu penting, karena dengan bahasa daerahlah orang pertama kali menamai alam. Ketidak pedulian manusia dalam menghargai bahasa daerah sama dengan melupakan hikmat pertama, dan hal ini akhirnya bisa mendatangkan malapetaka besar bagi dunia. Banjir bandang Wasior menjadi bukti bahwa didalam bahasa daerah ada hikmat dan marifat yang jika diabaikan akan mencelakakan manusia. Wasior berdasarkan etimologinya berarti tanah atau tempat yang masih basah atau juga tempat yang belum kering. Tempat ini dinamai oleh penjelajah pertama di seluruh Teluk Saireri hingga Doberai yaitu orang Biak. Mereka menjelajah dan menamai tempat sesuai dengan ciri – ciri dari alam itu. Tanah yang basah berarti banyak air dan diatas tanah tersebut rawan diadakan pembangunan. Dengan tidak memahami nama dan arti yang terkandung dari kata Wasior orang membangun dan membuat kota disana, maka akhirnya malapetaka muncul berupa banjir bandang. Hal yang sama pernah terjadi di Jayapura pada tahun 2000 ketika banjir menutupi Perumnas IV Padang Bulan Sosial. Tempat itu dalam bahasa Sentani disebut Rebali yang merupakan juga wi yobe ”sungai nenek moyang” Rebali berasal dari dua suku kata yaitu re ”rawa” dan ebeli artinya panjatkan,atau secara lurus tertinggal. Rebali adalah nenek moyang yang jatuh tertinggal sebagai rawa. Dan tempat tersebut tidak cocok untuk pembangunan.Namun karena hikmat dan pengetahuan introduktif yang bersifat asing dan tidak bersahabat dengan alam maka terjadilah malapetaka itu. Dan untuk dua hal ini jika dibandingkan dengan pendekatan pembangunan masa pendudukan Belanda, mereka menghargai benar bahasa daerah. Dan dengan mempelajari hikmat lokal tersebut dua tempat yang disebutkan diatas tidak diijinkan untuk pembangunan pada waktu itu. Hari ini banyak bahasa daerah yang terlupakan oleh generasi muda di tanah Papua. Mempelajari bahasa daerah dianggap kuno dan ketinggalan jaman.Namun andaikan kita bisa mencari hikmat dari masalah lalu untuk membangun kebesaran kita sebagai manusia mengapa kita harus melupakan bahasa itu. Sebagai refleksi andaikan kita bertanya; apakah tujuh keajaiban dunia yang diagung – agungkan sebagai salah satu sumber devisa negara dibangun disaman tekhnologi canggih?. Dimanakah hikmat dan marifat seperti itu terdapat? Hikmat dan pengetahuan untuk membangun kebesaran itu terdapat dalam bahasa mereka. Bertolak dari penjelasan diatas, tulisan ini ingin mengingatkan bahwa Papua sebagai laboratorium penelitian bahasa yang diincar dunia dan dikejar oleh para ahli. Perlu diberikan perhatian yang serius agar perlindungan dan pelestarian bahasa daerah menjadi tanggung jawab kita bersama baik pemerintah, pemerhati bahasa dan juga masyarakat pemilik. Gubernur Papua, Barnabas Suebu SH, pada konferensi internasional tentang bahasa dan budaya Papua tahun lalu telah menunjukan keseriusannya sebagai pemerintah dengan mengakomodir bahasa daerah dalam perhatian pemerintah lewat pendidikan. Hal ini harus menjadi gayung bersambut antara semua stakeholders. Mengapa kita harus takut untuk menggunakan bahasa daerah? Deklarasi PBB tanggal 13 September 2007 tentang Hak – Hak Masyarakat Adat pada pasal 13 ayat 1 & 2 menyatakan masyarakat adat mempunyai hak untuk menggunakan dan mewariskan bahasa daerah, dan negara berkewajiban untuk melindungi hak berbahasa tersebut. (Dalam deklarasi tersebut Indonesia sebagai negara bhineka tunggal ika hadir dan mendukung penuh deklarasi tersebut). Di samping itu, Undang – Undang Otonomi Khusus Papua Pasal 58 ayat 1 dan 3 menyatakan; (1) bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jatidiri orang Papua, dan ayat (3) menegaskan bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan. Namun sangat disayangkan bahwa saat ini sebagian bahasa – bahasa Papua dengan belum sempat diwariskan kepada generasi penerusnya dia akan punah untuk selamanya. Sebagai salah satu contohnya adalah bahasa Dusner. Bahasa Dusner akan mengalami kepunahan dalam waktu dekat. Bahasa Dusner adalah bahasa Papua yang dituturkan oleh orang Papua di Kabupaten Teluk Wondama kampung Dusner. Bahasa ini berhasil diidentifikasi oleh Mahasiswa Fakultas Sastra jurusan linguistik Universitas Negeri Papua, Manokwari. Dalam kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) pada 12 – 25 Januri 2011 dikampung Dusner, mereka menemukan bahwa penutur bahasa Dusner tinggal 3 orang dan semuanya berusia antara 76 hingga 80 tahun. Kampung Dusner memiliki jumlah penduduk sebanyak 236 orang dengan jumlah laki – laki sebanyak 117 dan wanita sebanyak 119, dari jumlah tersebut hanya 2 orang nenek dan satu orang tete yang bisa berbahasa Dusner yang lainnya tidak bisa sama sekali. Penelitian ini hanya mampu merekam daftar kata – kata dari bahasa tersebut dan itupun telah tercampur baur dengan bahasa Wamesa atau Wandamen. Dusner artinya ”Tanah Suci” kampung ini menurut sejarahnya adalah kampung yang pernah menyimpan cerita tentang pergulatan Injil dan budaya. Mengapa bahasa ini bisa mengalami kepunahan?. Dari hasil bincang – bincang dengan para penduduk di Dusner di informasikan bahwa bahasa tersebut oleh guru – guru penginjil dari Ambon dikatakan sebagai bahasa kafir sehingga tidak boleh dituturkan oleh generasi selanjutnya. Hal ini seirama dengan apa yang dijelaskan oleh Kamma (Ajaib di Mata Kita III.414 -416); guru – guru Ambon dan Sangir dari GPI mengalami masa penggodokan yang singkat dan hanya sebagai guru katekisasi dan kadang – kadang pun tidak. Pendidikan teoloogi mereka serba singkat, tetapi sikapnya terhadap kebudayaan Papua agak agresif. Semua unsur kebudayaan Papua mereka golongkan kedalam ”kekafiran” yang wajib mereka berantas. Dan sesungguhnya tentang pandangan seperti ini sejak masa I.S. Kijne, 1925, sebagai peletak dasar peradaban Papua telah diprotesnya. Untuk hal tersebut Kijne menulis satu bab yang berjudul: ”Dasar kepastian segala sesuatu yang kita harapkan”. Didalamnya dinyatakan dengan jelas: ”Marilah kita bayangkan bahwa kita para zendeling telah datang di Papua ini, dan sesudah beberapa waktu kita telah mengira bahwa setidak – tidaknya di medan zending ini kerajaan Allah telah datang dengan segala kemuliaannya….. .Dimanapun dan dalam hal apapun mudah terjadi kemacetan. Orang bisa saja mempertahankan hal yang lama, tapi kalau demikian dimanakah letak unsur hidupnya? Dalam hal itu orang akan memegang unsur dimasa awal zending. Tidak adakah cukup harapan untuk benar – benar melepaskan itu juga dan hidup secara sungguh – sungguh?”. Kijne melihat cara pandang yang membagi Tradisionalisme dan Formalisme sebagai hal yang mematikan karena menganggap semua tradisi budaya lama adalah kafir. Menurut Kijne: ”tidak hidup dengan iman dan dengan mendengarkan Firman Allah selamanya menyebabkan orang kembali mencari dan berusaha menyingkapkan rahasia: pengetahuan yang rahasia, kuasa yang rahasia. Itulah yang dinamakan ”kekafiran” yang mesti diperangi. Pemikiran yang benar – benar dinamis menggumuli kenyataan dan mengarahkan perhatian dan tenaganya kepada kekuatan – kekuatan sosial yang mesti dirangsang atau digerakan. Jadi bukan dengan menuturkan bahasa tersebut dianggap Kafir.Mengakhiri tulisan ini ingin dikatakan bahwa kekeliruan konsep tentang modernisme, peradaban dan kekafiran adalah penyebab matinya bahasa – bahasa lokal. Akhirnya, semoga Dusner ”Tanah Suci” menjadi peringatan bagi manusia penghuni negeri Cenderawasih untuk melestarikan keindahan dan keragaman bahasanya dibumi yang diwariskan Tuhan ini. (*) Kepala Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya (PUSBADAYA) Papua dan Dosen Linguistik Fakultas Sastra UNIPA, Manokwari.
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– February 12, 2011
Tiga Terpidana Video Kekerasan Terima Putusan Majelis Hakim
Sejak 1 Februari Kemarin Jalani Hukuman di Rutan Militer Jayapura –Setelah berpikir selama satu minggu sebagaimana waktu yang diberikan majelis hakim, akhirnya ketiga terpidana kasus video kekerasan TNI terhadap warga sipil di Kampung Gurage, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya Mei 2010 lalu, menyatakan menerima vonis hakim Pengadilan Militer III-19 Jayapura yang diketuai Letnan Kolonel CHK Adil Karo karo. Hal ini sebagaimana diungkapkan, salah satu Kuasa Hukum dari ketiga terpidana , Kapten CHK Soni Oktovianus SH. “Inilah tanggung jawab mereka sebagai prajurit, dimana mereka mengakui kesalahan mereka dan siap bertanggung jawab,” kata Soni ketika ditemui wartawan di Pengadilan Militer III-19, Dok V, Selasa (1/1) kemarin. Dengan diterimana putusan ini lanjutnya, maka ketiganya terhitung mulai 1 Februari 2011 sudah bisa menjalani hukuman yang dijatuhkan majelis hakim, di Rumah Tahanan Militer Waena.Ketiga terpidana dijerat pasal 103 ayat 1 jo ayat (3) ke-3 Kitab Undang Hukum Pidana Militer, tentang melawan perintah atasan yang dilakukan secara bersama-sama. Ketiganya divonis hukuman berbeda, Sersan Dua Riski Irwanto yang merupakan Wadanpos Gurage divonis 10 bulan penjara potong masa tahanan, Prajurit Satu Yapson Agu divonis 9 bulan penjara, sementara Prajurit Satu Thamrin Mahangiri divonis 8 bulan penjara potong masa tahanan. Kepala Oditur Militer III-19 Jayapura, Letkol Sus Arwin Hidayat mengatakan tidak akan melakukan banding atas kasus ini. Dengan pertimbangan, vonis yang dijatuhkan tidak terlalu rendah dari tuntutan Oditur. “Kalau hukumannya sangat jauh atau terlalu rendah itu bisa diajukan banding, berpegang pada tuntutan secara aturan hukum kita tidak akan ajukan banding,” katanya kepada wartawan kemarin.
Sebelumnya ketiga terdakwa dituntut hukuman berbeda, Serda Riski Irwanto dituntut 12 bulan penjara potong masa tahanan, Pratu Yapson Agu dituntut 10 bulan penjara, sedangkan Pratu Thamrin Mahangiri dituntut 9 bulan penjara potong masa tahanan.
Ditanya bagaimanakah apabila nanti ditemukan bukti baru dalam kasus ini, misalnya korban dihadirkan, Arwin mengaku, sesuai aturan hukum acara pidana ada istilah Nebis in Idem, bahwa seseorang tidak bisa dijatuhi hukuman dua kali untuk kasus yang sama.
“Kecuali bukti baru dengan terdakwa yang baru tapi dalam kasus yang sama, maka bisa diajukan ke persidangan,” terang Arwin.
Sementara Kepala Panitera Pengadilan Militer III-19, Kapten CHK Zwastika menuturkan hingga batas waktu yang diberikan majelis hukum untuk berpikir kepada ketiga terdakwa yakni sejak vonis hakim, Senin (24/1) hingga Senin (31/1), dari pihak Oditur maupun kuasa hukum tidak mengajukan upaya hukum banding. Sehingga menurut dia, kasus ini sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
“Terhitung hari ini (kemarin) sudah tidak bisa lagi diajukan upaya hukum banding maupun kasasi. Sehingga dianggap kasus ini sudah selesai dan memiliki kekuatan hukum tetap,” jelasnya.
Adapun putusan yang dijatuhkan berbeda-beda, ungkap Zwastika, berdasarkan perbuatan masing-masing terdakwa yang terungkap dalam persidangan. Dia mencontohkan, Serda Irwan yang dituntut lebih berat sebab terdakwa merupakan Wadanpos yang bertanggung atas setiap kejadian yang terjadi di Pos. Sedangkan Yapson Agu divonis lebih berat dari Thamrin karena, perbuatan yang dilakukan lebih berat, dimana dialah yang menyulut kemaluan korban dengan api, sementara Thamrin dalam kasus ini hukuman lebih ringan karena hanya mengikat dan menendang korban.
Kasus penyiksaan yang sempat heboh di dunia maya melalui situs Youtube ini terjadi 27 Mei 2010 lalu, dimana saat itu ketiga terdakwa yang merupakan anggota Batalyon Infanteri Arga Vira Tama Nabire ini sedang bertugas di kampung Gurage, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya. Daerah ini memang dikenal sebagai basis TPN/OPM pimpinan Goliat Tabuni. Hari itu sekitar pukul 12.00 siang, ketiga terdakwa bersama 11 anggota lainnya yang sedang berada di pos, tiba tiba terusik saat melihat sepeda motor yang dikendarai tiga orang melintas di depan pos menuju kota Mulia. Apalagi saat melihat sepeda motor tersebut mati, anggota yang berjaga kemudian suruh merapat di pos. Saat berada di pos itulah, terdakwa Irwan Riskianto (Wadanpos) melihat salah satu korban, Anggun Pugukiwo memakai kalung biru yang ditandai sebagai anggota kelompok separatis.
Melihat kecurigaan itu dia bersama dua terdakwa lainnya yang berada di depan pos melakukan interogasi dengan membawa kedua korban, Anggun Pugukiwo dan Telenggen Gire ke belakang pos, dan menanyai identitas keduanya, sementara tukang ojek disuruh pulang. Korban Anggun Pugukiwo diketahui memiliki dua KTP dan berdasarkan informasi masyarakat diketahui Anggun Pugukiwo merupakan anggota kelompok separatis yang sering berbuat onar, melakukan pemalakan terhadap kendaraan yang melintas di wilayah itu.
Ketika diinterogasi korban Anggun Pugukiwo memberikan jawaban yang berbelit-belit menyebabkan ketiga terdakwa emosi dan melakukan tindakan keras, korban ditelanjangi hanya menggunakan celana dalam, lalu disuruh telentang di atas tanah. Dengan kepala ditutup plastic hitam, bahkan terdakwa Yapson menyulutkan kayu yang sudah dibakar ke kemaluan korban hingga bulu-bulu korban terbakar. Tidak hanya itu, ketiganya secara bergantian menginjak muka korban dengan menggunakan sandal, dan menodongkan senjata di leher korban.
Hingga akhirnya korban mengaku dan memberitahukan kalau terdapat pucuk senjata yang disimpan Goliat Tabuni dan kawan-kawan yang disimpan di kandang babi. Selanjutnya, korban Telenggen Gire dipulangkan sementara Anggun Pugukiwo masih ditahan di Pos. Korban lalu diobati lukanya, dimandikan, dan diberi makan. Namun, malam sekitar pukul 03.00 dini hari diketahui korban telah melarikan diri dari pos. (ar/don/03)
Selasa, 01 Februari 2011 15:50
Sebelumnya ketiga terdakwa dituntut hukuman berbeda, Serda Riski Irwanto dituntut 12 bulan penjara potong masa tahanan, Pratu Yapson Agu dituntut 10 bulan penjara, sedangkan Pratu Thamrin Mahangiri dituntut 9 bulan penjara potong masa tahanan.
Ditanya bagaimanakah apabila nanti ditemukan bukti baru dalam kasus ini, misalnya korban dihadirkan, Arwin mengaku, sesuai aturan hukum acara pidana ada istilah Nebis in Idem, bahwa seseorang tidak bisa dijatuhi hukuman dua kali untuk kasus yang sama.
“Kecuali bukti baru dengan terdakwa yang baru tapi dalam kasus yang sama, maka bisa diajukan ke persidangan,” terang Arwin.
Sementara Kepala Panitera Pengadilan Militer III-19, Kapten CHK Zwastika menuturkan hingga batas waktu yang diberikan majelis hukum untuk berpikir kepada ketiga terdakwa yakni sejak vonis hakim, Senin (24/1) hingga Senin (31/1), dari pihak Oditur maupun kuasa hukum tidak mengajukan upaya hukum banding. Sehingga menurut dia, kasus ini sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
“Terhitung hari ini (kemarin) sudah tidak bisa lagi diajukan upaya hukum banding maupun kasasi. Sehingga dianggap kasus ini sudah selesai dan memiliki kekuatan hukum tetap,” jelasnya.
Adapun putusan yang dijatuhkan berbeda-beda, ungkap Zwastika, berdasarkan perbuatan masing-masing terdakwa yang terungkap dalam persidangan. Dia mencontohkan, Serda Irwan yang dituntut lebih berat sebab terdakwa merupakan Wadanpos yang bertanggung atas setiap kejadian yang terjadi di Pos. Sedangkan Yapson Agu divonis lebih berat dari Thamrin karena, perbuatan yang dilakukan lebih berat, dimana dialah yang menyulut kemaluan korban dengan api, sementara Thamrin dalam kasus ini hukuman lebih ringan karena hanya mengikat dan menendang korban.
Kasus penyiksaan yang sempat heboh di dunia maya melalui situs Youtube ini terjadi 27 Mei 2010 lalu, dimana saat itu ketiga terdakwa yang merupakan anggota Batalyon Infanteri Arga Vira Tama Nabire ini sedang bertugas di kampung Gurage, Distrik Tingginambut, Puncak Jaya. Daerah ini memang dikenal sebagai basis TPN/OPM pimpinan Goliat Tabuni. Hari itu sekitar pukul 12.00 siang, ketiga terdakwa bersama 11 anggota lainnya yang sedang berada di pos, tiba tiba terusik saat melihat sepeda motor yang dikendarai tiga orang melintas di depan pos menuju kota Mulia. Apalagi saat melihat sepeda motor tersebut mati, anggota yang berjaga kemudian suruh merapat di pos. Saat berada di pos itulah, terdakwa Irwan Riskianto (Wadanpos) melihat salah satu korban, Anggun Pugukiwo memakai kalung biru yang ditandai sebagai anggota kelompok separatis.
Melihat kecurigaan itu dia bersama dua terdakwa lainnya yang berada di depan pos melakukan interogasi dengan membawa kedua korban, Anggun Pugukiwo dan Telenggen Gire ke belakang pos, dan menanyai identitas keduanya, sementara tukang ojek disuruh pulang. Korban Anggun Pugukiwo diketahui memiliki dua KTP dan berdasarkan informasi masyarakat diketahui Anggun Pugukiwo merupakan anggota kelompok separatis yang sering berbuat onar, melakukan pemalakan terhadap kendaraan yang melintas di wilayah itu.
Ketika diinterogasi korban Anggun Pugukiwo memberikan jawaban yang berbelit-belit menyebabkan ketiga terdakwa emosi dan melakukan tindakan keras, korban ditelanjangi hanya menggunakan celana dalam, lalu disuruh telentang di atas tanah. Dengan kepala ditutup plastic hitam, bahkan terdakwa Yapson menyulutkan kayu yang sudah dibakar ke kemaluan korban hingga bulu-bulu korban terbakar. Tidak hanya itu, ketiganya secara bergantian menginjak muka korban dengan menggunakan sandal, dan menodongkan senjata di leher korban.
Hingga akhirnya korban mengaku dan memberitahukan kalau terdapat pucuk senjata yang disimpan Goliat Tabuni dan kawan-kawan yang disimpan di kandang babi. Selanjutnya, korban Telenggen Gire dipulangkan sementara Anggun Pugukiwo masih ditahan di Pos. Korban lalu diobati lukanya, dimandikan, dan diberi makan. Namun, malam sekitar pukul 03.00 dini hari diketahui korban telah melarikan diri dari pos. (ar/don/03)
Selasa, 01 Februari 2011 15:50
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– February 3, 2011
West Papua Refugees Crises: Update per 29 January 2011: 34 More Arrested
New updates from Vanimo Police Detention, Barias Yikwa, Coordinator of West Papua Refugee Relief Association (WPRRA) for Vanimo Station reported today’s development of West Papua Refugees Crises in Vanimo Police station that
34 more West Papuan Refugees were arrested and detained at the Sandaun Police Station in Vanimo today.
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– January 29, 2011
Armed Gangs in Army and Police Uniforms surrounded and burned down Houses and Gardens of West Papuan Refugees in Vanimo, Sandaun Provinsi of the Commonwealth State of Papua New Guinea
Full Press Release and Background Information, Click Here[.doc] or [.txt] Reports received from West Papua Refugees currently settled in Vanimo, Sandaun Province of Papua New Guinea says armed gangs wearing uniforms of Papua New Guinea Defence Force and Police burned down 19 houses of the refugees and totally destroyed their gardens (crops) using spades and guns yesterday 23 January 2011 9 .
The 19 houses were surrounded by the armed gangs since 1:00 am local time and the attack to the houses began at 04:00 am, arresting men, women and children, burning their houses and destroying all the eatible crops around.
The coordinator of the refugee residence in Vanimo, Barias Yikwa and his fellow elder Chaleb Wenda with their family members in total of 73 men, women and children were arrested and currently at the Vanimo Police Station and nobody knows what is happening to them.
West Papua Refugee Relief Association (WPRRA) in Vanimo hereby requests:
Barias Yikwa, Vanimo Coordinator Elimar Gombo, Chair, Port Moresby
The 19 houses were surrounded by the armed gangs since 1:00 am local time and the attack to the houses began at 04:00 am, arresting men, women and children, burning their houses and destroying all the eatible crops around.
The coordinator of the refugee residence in Vanimo, Barias Yikwa and his fellow elder Chaleb Wenda with their family members in total of 73 men, women and children were arrested and currently at the Vanimo Police Station and nobody knows what is happening to them.
West Papua Refugee Relief Association (WPRRA) in Vanimo hereby requests:
- the PNG government to investigate the armed gangs who carried out inhuman operastions against refugees who already took refugee in PNG due to the Indonesian brutalities in the western half of our New Guinea Island.
- the Government of the Republic of Vanuatu, the Government of the Republic of Senegal and the Commonwealth State of New Zealand to assist these displaced West Papuan refugees to seek assylum in a third country.
- The civilised and democratic international community to assist in ensuring the fundamental rights of West Papuans in Papua New Guinea are respected and protected according to the international law on refugees and human rights.
- International Lawyers for West Papua (ILWP) to launch an international investigation into the inhuman and brutal attacks by armed gangs against West Papuan refugees.
Barias Yikwa, Vanimo Coordinator Elimar Gombo, Chair, Port Moresby
via ScribeFire
Posted in Uncategorized.
– January 28, 2011